BATASAN-BATASAN AURAT
Pengertian
aurat secara etimologi berarti yang kekurangan, atau dalam Bahasa Arab disebut
dengan “an-nuqshan” {النقصان} [1]. Ada pula yang mengartikan dengan sesuatu yang
dihinakan untuk dilihat walaupun dari jin dan malaikat. Aurat dinamakan kepada tempat-tempat yang akan
kita bahas, karena hina memperlihatkannya[2].
Sedangkan
pengertian aurat menurut terminologi (istilah fiqh) yaitu sesuatu yang wajib
ditutup dalam shalat. Oleh para ulama, sering kepada aurat juga mendefinisikannya
dengan sesuatu yang haram dilihat[3].
Dari
beberapa definisi diatas serta mengamati beberapa penjelasan dalam kitab-kitab
kuning yang berada pada ruang lingkup Imam Syafi’i, dengan jelas dapat difahami
bahwa aurat yang menjadi fokus pembahasan kita ialah batasan-batasan yang
terdapat pada manusia yang wajib ditutup dan haram untuk dilihat, baik dalam
shalat maupun diluar shalat.
B.
Hukum
Melihat Aurat.
Pengertian
aurat diatas, jelas sangat memudahkan kita untuk memahami bahwa pada dasarnya
hukum melihat aurat adalah haram. Keadaan seperti ini sebelumnya telah tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nur, yaitu :
قل للمؤمنين يغضّوا من أبصارهم
ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون 30. وقل للمؤمنات
يغضضن من أبصارهنّ ويحفظن فروجهنّ ولا
يُبدِين زينتهنّ إلاّ ما ظهر منها وليضربن بخمرهنّ على جيوبهنّ ولايُبدين زينتهنّ
إلا لبعولتهنّ أو أبائهنّ أوأباءبعولتهنّ أو أبنائهنّ أو أبناء بعولتهنّ أو
إخوانهنّ أو بنى إخوانهنّ أو بنى أخواتهنّ أو نسائهنّ أو ما ملكت أيمانهنّ أو
التابعين غير أولى الإرية من الرجال أو الطفل الذين لم يظهروا على عورات النساء
ولا يضربن بأرجلهنّ ليُعلم ما يُخفين من زينتهنّ وتوبوا إلى الله جميعا أيها
المؤمنون لعلّكم تفلحون31. {سورة النور : 30, 31}
Artinya : Katakanlah (wahai Muhammad) kepada
orang laki-laki yang beriman : “supaya menahan pandangan mata-mata mereka dan
mereka pelihara kemaluannya (dari zina) karena demikian itu akan menyucikan
hati-hati mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dengan apa yang mereka
lakukan”. Katakanlah (wahai Muhammad) kepada wanita yang beriman : “hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Dalam ayat diatas Allah SWT
memulai dengan uraian mengenai memelihara mata kemudian mengarah kemaluan
(zina), ini menggambarkan bahwa melalui pandangan mata dapat menimbulkan
syahwat kemudian membawaki kepada perbuatan zina dan merupakan lahan subur bagi
orang-orang untuk melakukan zina. Singkatnya, penglihatan merupakan awal mula
terjerumus dalam maksiat (zina).[4]
Padahal kita sama-sama maklum bahwa zina adalah termasuk salah satu dosa besar,
bahkan berada pada urutan ketiga setelah syirik dan pembunuhan, jadi wajar saja
bila hal-hal yang mengakibatkan zina seperti melihat aurat diharamkan pula oleh
agama Islam.
Namun
disisi lain melihat aurat dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk yang
akan memberikan konsekwensi hukum yang berbeda pula. Menurut mazhab
As-Safi’iyyah hukum melihat aurat tidak terfokus kepada haram saja, akan tetapi
juga meliputi kepada mubah, makruh dan sebagainya sesuai dengan undang-undang
Ushul Fiqh.
Syari’at Islam mengharamkan bagi seorang
laki-laki walaupun sudah tua renta dengan sengaja melihat segala sesuatu dari
bagian-bagian badan seorang wanita ajnabiyah (yang bukan istrinya dan bukan
mahramnya) yang menurut tabi’at laki-laki normal akan menimbulkan syahwat
kepadanya, baik wanita merdeka maupun budak meskipun pada wajah dan telapak
tangan atau wanita tersebut jelek dan tua.[5]
Bahkan melihat kepada wanita yang memakai cadar (yang terlihat hanya dua mata
dan bagian yang tembus melalui celah-celah cadar) juga diharamkan, lebih-lebih
wanita yang berparas jelita. Kedua masalah diatas tetap haram hukumnya
kendatipun tidak membangkitkan syahwat pada saat sedang melihatnya atau tidak
menimbulkan fitnah. Namun demikian tidak diharamkan (mubah) melihat aurat
wanita melalui pantulan (bayangan) seumpama cermin bila tidak menimbulkan
syahwat dan fitnah dengan sebab melihatnya.[6]
Lain halnya mahram, yang dibolehkan melihat
selain auratnya sebagaimana yang akan kita uraiankan lebih jelas lagi mengenai
batasan aurat wanita dan laki-laki, dewasa dan anak-anak, merdeka atau budak.
Dibolehkan pula bagi laki-laki melihat budak wanita milik orang lain selain
batasan antara pusar dan lutut tanpa diiringi dengan syahwat, bila
membangkitkan syahwat haram pula hukumnya. Budak laki-laki terhadap majikannya
yang wanita atau seseorang yang tidak lagi memiliki kemaluan (batang zakar) dan
2 peler terhadap wanita, akan sama seperti seseorang melihat wanita yang
mahram.
Dibolehkan pula melihat seluruh badan
anak-anak (laki-laki dan perempuan) kecuali kemaluan dan dhuburnya (anusnya).
Melihat kemaluan dan dhuburnya tetap diharamkan, begitu juga, haram melihat
tempat-tempat yang ditumbuhi bulu-bulu disekitar kemaluan kecuali disertai
dengan adanya keperluan penting, seperti pada saat menyusui, mendidik oleh
seumpama ibunya, membersihkan najis, mengolesi obat, dan sebagainya.
Sebaliknya seorang pria yang merencana
ingin menikahi seorang wanita, baginya disunatkan untuk melihat wanita tersebut
sebelum meminangnya, bahkan setelah meminang juga masih dibolehkan untuk
melihat-lihatnya walaupun disertai dengan syahwat dan ditakuti menimbulkan
fitnah, sekalipun tidak diizinkan. Yang dibolehkan disini hanya melihat saja,
tidak termasuk menyentuh atau memegang walaupun terhadap orang buta atau ada
keozoran untuk dapat melihat. Dibolehkan pula melakukannya berulang-ulang kali
supaya jelas mengenai keadaan wanita tersebut. Dalam hal ini hanya dibolehkan
melihat wajah dan telapak tangan saja, yang lain tidak, karena itu merupakan
aurat, sedangkan wajah dan telapak tangan memang perlu untuk dilihat. Wajah
memberi gambaran tentang kecantikan seseorang dan telapak tangan merupakan
cermin keindahan badannya.
Seorang laki-laki boleh melihat badan
laki-laki yang lain yang bukan anggota tubuh pada batasan antara pusar dan
lutut, karena batasan tersebut merupakan aurat yang haram dilihat. Haram pula
melihat laki-laki yang masih kanak-kanak serta memiliki wajah yang elok (amrad)
dengan diiringi syahwat, yaitu memperoleh kenikmatan dengan cara melihatnya.
Lihat wanita kepada sesama wanita seperti melihat oleh pria kepada sesama pria,
dalam arti kata haram melihat antara pusar dan lutut, selain itu boleh. Demikian pula hukumnya, yaitu haram bagi
seorang wanita melihat kepada badan pria sebagaimana yang telah difatwakan oleh
Imam Nawawi, yaitu :
قلت
الأصح التحريم كهو أى كنظره إليها والله أعلم [7]
Akan tetapi melihat tanpa disengaja tiada
mengapa juga tidak akan disiksa hari qiyamat kelak.[8]
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al-Jabali :
قال
: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نظرة الفجأة فأمرني أن أصرف بصرى { رواه
مسلم وأحمد والترمذى }
Artinya : Berkatalah Jarir : Saya tanyai Rasulullah SAW tentang
melihat yang tiada disengaja, maka Rasulullah memerintahkan supaya mengalihkan
pandangan saya.
Jadi melihat secara tidak sengaja hanya pada
pandangan pertama saja tanpa adanya hasrat apa-apa, sehingga tidak boleh bagi
seseorang yang tidak sengaja melihat seorang wanita kemudian timbul perasaan
suka serta ingin melihat kembali.[9]
Perlu kita ketahui pula, bahwa sanya melihat aurat
sendiri tidak ada larangan. Hanya saja hukumnya makruh tanpa hajat. Hukum
seperti ini berlaku ketika bukan sedang mengerjakan shalat. Adapun melihat
aurat sendiri didalam shalat, misalnya melalui lubang kancing baju, atau karena
kerah baju yang agak besar, dapat membatalkan shalat.[10]
Menurut fatwa Imam Nawawi, bahwa setiap yang haram
dilihat maka haram untuk disentuh, karena sentuhan lebih tinggi tingkatannya
dalam menimbulkan kenikmatan (syahwat/talazzuz). Kadang-kadang boleh jadi hal
yang boleh dilihat tetapi haram untuk disentuh, seperti paha seorang pria (yang
haram dilihat tanpa penghalang), boleh melihatnya bila ditutupi dengan kain
sarung, namun menyentuhnya tetap tidak boleh. Sama juga seperti wajah
ajnabiyah, dilihat boleh dipegang jangan (haram).
Dipihak lain dibolehkan melihat dan menyentuh untuk
membetik, membekam dan mengobati, yang mana hal tersebut sudah sangat
dibutuhkan (yang mencakupi dharurah). Hanya
saja disyaratkan dalam hal ini supaya ada mahram atau suami yang ikut hadir
pada saat itu, dan juga tidak diperdapatkan wanita yang mampu mengobatinya,
pria untuk pria. Wanita non muslim (atau zimmi) tidak dibenarkan dalam hal ini
pula selama ada wanita muslim. Perlu digaris bawahi bahwa Untuk kebutuhan yang
ringan (أدنى حاجة) hanya
dibolehkan sebatas telapak tangan dan wajah saja. Untuk keozoran yang berefek
kepada dibolehkan bertayammum boleh melihat dan menyentuh pada batasan selain
kemaluan dan dhubur (anus), sedangkan untuk kemaluan dan dhubur bila dalam
keadaan dharurah.[11]
Dibolehkan pula melihat wanita ketika melakukan
transaksi jual-beli dan transaksi-transaksi lainnya, untuk menjadi saksi
walaupun ada yang lain sehingga seandainya wanita tersangka enggan
memperlihatkan wajahnya, maka akan dibuka oleh wanita yang lain supaya orang
yang menjadi saksi dapat melihat untuk mengenalnya dengan pasti. Melihat
kemaluan ketika sedang menjadi saksi zina dibenarkan dalam agama islam, dan
pula saksi wiladah (kelahiran). Begitu juga puting susu wanita tiada mengapa
melihatnya untuk dijadikan saksi ridha’ (hubungan keluarga melalui menyusui).
Mengenai proses belajar mengajar, juga mendapat pembahasan
istimewa masalah lihat-melihat antara murid dan guru. Untuk murid yang masih
dikategorikan sebagai “amrad” boleh menatap kepadanya, sebagai mana seorang
majikan laki-laki boleh melihat budak perempuan yang ingin dibelinya atau
majikan wanita boleh melihat budak laki-laki. Demikian pula dibolehkan pula
seorang pria mengajarkan wanita namun tidak boleh baginya melihat kepada wanita
tersebut (yang bukan mahram) yang mana membawaki pengaruh yang cukup besar pula
bagi seseorang yang menikahi perempuan dengan mahar akan mengajarkan istrinya
selama beberapa waktu, kemudian bercerai sebelum habis waktu yang ditentukan,
maka mantan suami dan istri yang tidak boleh lagi megajarkannya karena hal itu
dianggap ozor.
Semua hal-hal yang dibolehkan pada uraian diatas,
hanya sebatas keperluan saja, sedangkan bila telah selesai kembali pada hukum
yang lain menurut keadaannya masing-masing.
Seorang suami boleh melihat apa saja bagian tubuh
istrinya dan juga mengaulinya sesuka hatinya, hanya saja dikhususkan pada
masalah melihat kemaluan dan dhubur (bagian luarnya dan dalam/bathinnya)
istrinya hukumnya makruh disamping ada yang berpendapat bisa memberi dampak
negatif, yaitu buta bagi yang melihatnya, dan ada yang mengatakan bukan yang
melihat tetapi anaknya. Majikan pria juga boleh melihat kemaluan dan dhubur
budak perempuannya dan menggaulinya seperti suami terhadap istrinya.[12]
C.
Hukum
Membuka Aurat.
Sebuah fenomena yang tidak dapat kita
pungkiri, keseimbangan merupakan hal yang sangat sakral dalam pelaksanaan
sebuah hukum. Tidak adil rasanya bila yang mendapat tekanan hanya terhadap yang
melihat saja, tapi bagaimana dengan yang seenaknya saja membuka tanpa
memperhatikan upaya orang lain dalam memelihara syari’at. Jelas islam telah
memperlihatkan bagi kita suatu keseimbangan dan keadilan dalam hal tersebut.
Islam,
disamping membuat penekanan terhadap orang yang melihat aurat, juga mengiringi
suatu ketentuan yang saling terkait bagi pembuka aurat, yaitu haram selama
tidak adanya kemudharatan yang ditimbulkan atau selama tidak adanya suatu
kebutuhan yang mesti dilakukan.
Seseorang
wajib menutup auratnya dengan benda padat yang dapat menghalangi pandangan
orang lain yang masih normal untuk melihat warna kulitnya walaupun dengan tanah
sekalipun. Belum dikategorikan menutup aurat dengan menggunakan benda padat
yang tidak dapat menghalangi penglihatan orang lain seperti kaca, plastik
transparan, kain yang sangat tipis, kain tebal yang jarang tenunannya, dan
sebagainya, demikian pula halnya benda-benda yang mampu mengubah warna kulit tetapi
bukan benda padat, misalnya cat, daun pacar, gincu, dan lainnya. Untuk
melengkapi persyaratan sah shalat, islam membolehkan seseorang memakai pakaian
yang memperlihatkan bentuk badan dari luar tanpa mengingkari bahwa hukumnya “makruh”
bagi wanita dan “khilaf aula” bagi laki-laki.[13]
Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menutup aurat
karena sama sekali tidak mempunyai sesuatu pun yang dapat menutup auratnya oleh
islam memadai dengan apa adanya untuk pelaksanaan shalat, bahkan berusaha untuk
mendapatkannya dengan cara mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan
empunyanya hukumnya haram. Ini boleh saja terjadi ketika seseorang hanya
memiliki satu penutup aurat yang bernajis, tentu saja dalam shalat tidak
dibenarkan memakai pakaian yang bernajis, oleh karena itu sah shalatnya tanpa
menutup aurat dengan pakaian tersebut, akan tetapi bila diluar shalat wajib
menutupnya walaupun dengan pakaian yang bernajis atau sutra. Disisi lain islam
membolehkan pula untuk membuka aurat karena ada maksud tertentu, bila terasing
dari orang lain kecuali kemaluan dan dhubur untuk laki-laki dan batasan antara
pusar dan lutut bagi wanita.[14]
1. Wanita Memamerkan Perhiasan
Terhadap Orang Lain.
Mengenai hal ini dalam ayat
diatas juga telah diuraikan mengenai bagaimana hukum terhadap seorang wanita
yang memamerkan perhiasannya, yaitu kalimat :
( ولايبدين
زينتهن ) yang menunjukkan
bahwa hukumnya haram bagi seorang wanita memperlihatkan perhiasannya terhadap
ajnabi (yang bukan mahram dan suami), karena ditakuti menimbulkan fitnah
kecuali bagi orang-orang yang telah disebutkan didalam ayat diatas, yaitu :
-
Suami, dibolehkan terhadap suami untuk melihat
seluruh tubuh istrinya serta boleh menggauli istrinya dengan cara apapun yang
dihalalkan dalam agama islam.
-
Bapak yang termasuk juga kakek, baik kakek
melalui hubungan darah dengan bapak maupun yang berhubungan darah dengan ibu.
- Bapak mertua
-
Anak-anaknya sendiri, anak suaminya, yang juga
termasuk didalamnya cucu-cucunya.
-
Saudara laki-laki, baik saudara kandung atau
saudara sebapak maupun saudara seibu.
-
Keponakan
-
Paman sedarah dengan bapak, paman sedarah dengan
ibu dan seluruh mahram menyusui walaupun didalam ayat tidak disinggung tentang
mereka, karena hukum yang demikian telah disepakati oleh ulama fiqah (fuqaha’)[15]
2.
Wanita Yang Merdeka Membuka Aurat Kepada Budak
Laki-lakinya.
Berdasarkan mazhab Asy-syafi’iyah, seorang
wanita yang memiliki budak pria, boleh memperlihatkan kepadanya pada batasan
selain antara pusar dan lutut, dimana budak dalam masalah ini dihukumkan sama
dengan mahram wanita tersebut. Hal ini dapat difahami dari uraian yang
menyatakan bahwa boleh bagi budak laki-laki untuk melihat aurat majikannya yang
perempuan selain batasan diantara pusar dan lutut.[16]
3.
Apakah Suara Wanita Merupakan Auratnya?
Sering kita jumpai kontrofersial dalam
fatwa-fatwa para ulama fiqh tentang suara wanita dewasa ini. Sebelumnya hal ini
juga telah lebih awal dikaji oleh para ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid dalam
memposisikan suara wanita menurut syari’at islam. Ada yang mengatakan bahwa suara wanita adalah
aurat dan ada juga yang berpendapat bukan.
Menurut mazhab Imam Syafi’i suara wanita
bukan aurat. Oleh karena itu dibolehkan (mubah) mendengarkan suara
wanita selama tidak ditakuti menimbulkan fitnah atau bertujuan untuk mndapat
kenikmatan dengan suara tersebut. Apabila hal ini kemungkinan besar ada, maka
haram mendengar suara wanita, walau suara wanita yang sedang membaca Al-Qur’an
sekalipun.
Wanita yang ditegur atau dipanggil oleh
seseorang tidak boleh menyahut dengan suara merdu, tetapi dianjurkan menyahut
sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
D.
Batasan
– Batasan Aurat.
1.
Aurat
Laki-Laki.
Aurat laki-laki baik orang yang baligh (orang
yang berumur 15 tahun atau 12 tahun yang pernah bermimpi yang dapat mengeluarkan
mani) maupun belum baligh (ash-shabiy) didalam shalat berkisar pada batasan antara pusar
dan lutut sekalipun keadaannya sunyi dari orang-orang dan suasana gelap, maka
haram terhadap seorang laki-laki membukanya. Demikan pula bila dihadapan mahram
dan sesama laki-laki. Sedangkan aurat laki-laki yang wajib ditutup dari
pandangan wanita ajnabiyah adalah seluruh tubuhnya, termasuk juga wajah dan
telapak tangan.[17]
Kondisi seperti ini sama juga apabila laki-laki
tersebut adalah mahram si wanita, misalnya bapak, adik kandung yang laki-laki,
abang kandung, paman yang memiliki hubungan darah dengan bapak dan paman yang
mempunyai hubungan darah dengan ibu, maka auratnya tetap pada batasan antara
pusar dan lutut. Begitu juga aurat laki-laki yang bukan mahram pada pendapat
yang kuat. Namun pun demikian, seandainya laki-laki tersebut adalah suaminya,
maka sekujur tubuhnya bukan aurat. Sah-sah saja terhadap sang istri untuk
melihat apa saja yang terdapat pada tubuh suaminya.[18]
2.
Aurat Wanita
Aurat wanita, anak-anak (belum baligh) maupun dewasa (baligh) didalam shalat, yaitu seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan (bahagian
atas dan bawah telapak tangan). Batasan ini hanya
berlaku didalam shalat saja, sedangkan diluar shalat aurat wanita akan berbeda
menurut suasananya masing-masing yang kemudian diklasifikasikan menjadi empat
macam sebagaimana dalam paragraph berikut ini.[19]
Dihadapan pria ajnabi (bukan mahram atau suami) auratnya adalah seluruh badan, termasuk juga telapak
tangan dan wajah walaupun tidak menimbulkan fitnah.[20]
Bila berada diantara mahramnya atau dalam suasana terasing dari orang lain,
maka aurat wanita sama seperti aurat laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut.
Aurat yang demikian juga merupakan aurat wanita dengan sesama wanita muslim
lainnya. Namun, dihadapan wanita non muslim yaitu semua yang tidak kelihatan
ketika sedang bekerja.[21]
Intinya seluruh tubuh wanita merupakan aurat yang
haram untuk dilihat oleh laki-laki yang bukan suaminya dan bukan mahramnya.[22]
- Aurat Khunsa (orang yang memiliki dua kelamin).
Khunsa ialah manusia biasa yang diciptakan
oleh Allah SWT dengan dua alat kelamin yang menurut pengkajian ulama-ulama fiqh
dibagi menjadi dua jenis, antara lain disebut dengan :
-
Khunsa
Musykil, yaitu jenis khunsa yang mempunyai dua kelamin dalam waktu yang sama.
-
Khunsa
Wadhih, adalah jenis khunsa yang memiliki dua kelamin, namun tidak dalam waktu
yang sama akan tetapi secara bergantian (sewaktu-waktu berkelamin pria dan
diwaktu yang lain berubah menjadi kelamin wanita)
Mengenai khunsa wadhih akan mudah difahami
bahwa ketika berkelamin pria akan sama hukumnya dengan pria pula, begitu juga
sebaliknya.
Khunsa
musykil para ulama menghukum sama seperti wanita yang merdeka karena
“ihtiyath”, yaitu mengambil sebuah hukum yang lebih pasti dan yakin. Maka
segala ketentuan tentang aurat khunsa berlaku sama persis seperti pada wanita
merdeka.[23]
secara
tidak langsung akan menjadi proses dan seleksi alami bagi manusia yang semuanya
mengharapkan sebuah kesuksesan atau keunggulan dari suatu proses. Keunggulan
yang diharuskan tersebut diatas juga menjadi wajib dimiliki oleh ummat Islam,
ini menjadi
[1] Mughnil
Muhtaaj Ilaa Ma’rifati Ma’ani Alfazil Minhaaj, Jilid 1, Hal 256
[2]
Hasyiyatani Qulyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Syarhi Jalaluddin Al-Mahalli (bairut),
Jilid 3, Hal 200.
[3]
Mughnil Muhtaaj Ilaa Ma’rifati Ma’ani Alfazil Minhaaj, Jilid 1, Hal 256
[4] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 148.
[5] I’anatuth Thalibin, Jilid 3, hal 258.
[6] I’anatuth Thalibin, Jilid 3, hal 259.
[7] Hasyiyatani Qulyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Syarhi
Jalaluddin Al-Mahalli (bairut), Jilid 3, Hal 208.
[8] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 151.
[9] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 152.
[10] I’anatuth Thalibin, Jilid 1, hal 114.
[11] Hasyiyatani Qulyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Syarhi
Jalaluddin Al-Mahalli (bairut), Jilid 3, Hal 212.
[12] Hasyiyatani Qulyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Syarhi
Jalaluddin Al-Mahalli (bairut), Jilid 3, Hal 213.
[13] I’anatuth Thalibin, Jilid 1, hal 113.
[14] I’anatuth Thalibin, Jilid 1, hal 113.
[15] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 158.
[16] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 163.
[17] Hasyiyah Tahrir (bairut), Jilid 1, hal 168.
[18] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 153.
[19] I’anatuth Thalibin, Jilid 1, hal 113.
[20] Hasyiyah Tahrir (bairut), Jilid 1, hal 168.
[21] I’anatuth Thalibin, Jilid 1, hal 113.
[22] Rawai’ul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam Minal
Qur’an, Jilid 2, Hal 154.
[23] Hasyiyatani Qulyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Syarhi
Jalaluddin Al-Mahalli (bairut), Jilid 1, Hal 201.
0 Response to "BATASAN-BATASAN AURAT"
Posting Komentar