Perkembangan Jiwa Keagamaan
Pada Masa Usia Lanjut
DI
S
U
S
U
N
OLEH
:

UNIVERSITAS JABAL GHAFUR
SIGLI
2012 / 2013
Perkembangan Jiwa Keagamaan
Pada Masa Usia Lanjut
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan
potensial. Dikatakan makhluk eksploratif,
karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik
maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri
manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan.
Selanjutnya manusia juga
disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan
berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan
dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya.
Bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam membantu perkembangan tersebut
pada hakikatnya diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri, yang
sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena itu bimbingan yang tidak searah
dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negative bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan
tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan
tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia
untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan
hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat
terlebih dahulu kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab
pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan jasmani
dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan tersebut,
maka dalam kaitanna dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana
pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan
demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.
Dalam makalah ini penulis
akan membahas perkembangan psikologi agama pada masa lansia (usia lanjut),
dalam makalah ini kami selaku pemakalah menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca
sebagai masukan dalam penulisan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah
makna dari usia lanjut ?
2. Bagaimanakah
Perkembangan Agama Pada masa Usia Lanjut?
3. Apa
sajakah cirri-ciri keagamaan pada usia lanjut?
4. Bagaimanakah
keadaan kematangan keagamaan pada masa usia lanjut?
5. Bagaimanah
perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam?
6. Bagaimanakah
cara bersikap kepada manusia usia lanjut?
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui:
1. Pengertian
dari usia lanjut
2. Perkembangan
Agama Pada masa Usia Lanjut
3. Ciri-ciri
keagamaan pada usia lanjut
4. Keadaan
kematangan keagamaan pada masa usia lanjut
5. Perlakuan
terhadap manusia usia lanjut menurut Islam
6. Cara
bersikap kepada manusia usia lanjut
D. Metode
Penelitian
Penelitian ini adalah jenis
penelitian literer, yakni penelitian yang menjadikan literatur (buku-buku)
sebagai bahan rujukannya. Adapun metode yang dipakai adalah :
1. Metode
Induktif
Metode ini menggunakan
cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya khusus menuju hal-hal yang
bersifat umum.
2. Metode
deduktif
Metode ini menggunakan
cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum menuju ke hal-hal yang
khusus.
3. Metode
Korelasi
Metode ini menggunaka
cara-cara berpikir dengan mencari korelasi (hubungan) antara sesuatu hal dengan
hal yang lain.
BAB II
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Masa Usia Lanjut
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran
fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai
“senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah
beranjak jauh dari pada periode terdahulu.
Didalam “gerontology” (ilmu
yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia dibagi menjadi dua golongan, yaitu
“young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75 tahun). Dari kesehatan mereka
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “well old” (mereka yang sehat dan
tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka yang menderita penyakit dan
memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan kesehatan bagi
kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga didunia kedokteran berkembang
spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari aspek medis (fisik) maupun
kejiwaan (psikiatris)
Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada
tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut
Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas (yaitu rasa
puas) yang tercermin selama hidup yang tidak berarti.
Lanjut usia
sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari hasil yang
diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa bahagia karena
telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut usia hendaknya
mampu mengatasi cidera “narcissism”(kecintaan pada diri sendiri),
terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau perhatian dari orang-orang
disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu memelihara dan mempertahankan
harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut, kecewa, sedih, marah,
putus asa dan sebagainya.
Terjadi konflik pada manula
yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta penilaian terhadap
kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya.Hal ini berlaku
bagi laki-laki dan perempuan.
B. Perkembangan
Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan
secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan
sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia
lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya
akan menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan awal dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan
fisik aktivitas menurun sering mengalami gangguan kesehatan mereka cenderung kehilangan semangat.
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi
agama ternyata meningkat. Dari sebuah
penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan
bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin
meningkat. Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan
akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal
yang menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya
sebagai berikut:
1. Seringkali
kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan
dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut
mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan
fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya factor yang membentuk
sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa
pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan
2. Menurut
William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia
lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut
diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut
yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal
hidup di akhirat kelak.
3. Dalam
penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut
diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh
M. Argyle dan Elle A. Cohen.
C. Ciri-ciri Keagamaan Pada
Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:
1. Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai
muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4. Sikap
keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama
manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul
rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia
lanjutnya.
6. Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
D. Kematangan Beragama Pada
Usia Lanjut
Kematangan
atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran
dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya
dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama
bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang
dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan
beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku
keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa
tanggung jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan
suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan
kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya
terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan:
1. Faktor
diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan
pengalaman. Kapasitas ini merupakan
ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara
seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu
menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan
ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative,
walaupun apa yang harus dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam
kehidupan masyarakat mereka.
Sedangkan faktor pengalaman,
semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin
mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keaagamaan. Namun, bagi mereka
yang mempunyai pengalamanan sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai
macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat
mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2. Faktor
luar
Yang dimaksud dengan faktor
luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak
memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu
adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain
tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai
tradisi tertentu dan berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu
belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui
dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin
perlu dikembangkan dan dilestarikan. Namun
pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang
perlu penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif
pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang
berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil telah dicekam
oleh tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan
mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan
datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang
menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan beragama
seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang
lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang
lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan
sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap
keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William
james, mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan
seseorang, yaitu :
1. Faktor intern,
terdiri dari :
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan
pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama
seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang
berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal
demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b. Gangguan
Jiwa
Orang yang menderita gangguan
jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.Tindak-tanduk
keagamaan dan pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada
gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c. Konflik
dan Keraguan
Konflik dan keraguan ini
dapat mempengaruhi sikap seseoarng terhadap agama, seperti taat, fanatic,
agnotis, maupun ateis.
d. Jauh
dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari
Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat
menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang
mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
a. Pesimis
b. Introvert
c. Menyenangi
paham yang ortodoks
d. Mengalami
proses keagamaan secara graduasi
2. Faktor Ekstern
yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a. Musibah
Seringkali musibah yang
sangat serius dapat mengguncangkan seseorang,dan kegoncangan tersebut
seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa
mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b. Kejahatan
Orang yang hidup dalam
kejahatan pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa.Perasaan
tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti meluapakan dengan
berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan
tindakan brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri
menghantui dirinya,yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada
akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara
lain:
1. Optimisme
dan gembira
2. Ekstrovert
dan tidak mendalam
3. Menyenangi
ajaran ketauhidan yang liberal
Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a. Menyenangi
teologi yang luwes dan tidak kaku.
b. Menunjukkan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c. Menekankan
ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d. Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara soial.
e. Tidak
menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f. Bersifat
liberal dalammenafsirkan pengertian ajaran agama.
g. Selalu
berpandangan positif.
h. Berkembang
secara graduasi.
Menurut Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang
yang berusia lanjut (usia 70-79th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan
dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam
terapi psikologi.
Kajian psikologi berhasil
mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka
mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada
kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian
mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan
perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat
mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini
diantaranya disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan fisik pada usia
lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah
pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang
tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah.
Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak
dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti stress, putus asa,
ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam
kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai
penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa
memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti
ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai dalam memberi perlakuan
yang baik pada kedua orang tua Allah menyatakan dalam surat (QS 17-23) yang artinya: jika seorang
diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemiliharaanmu,
maka jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya perkataan ah dan jangan
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
F. Cara Bersikap Pada
Manusia Usia Lanjut
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk
memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan
menempatkan mereka dipanti jompo. Di
panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif.
Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena kesibukan, tak jarang
anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan
yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat
umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo merupakan
cerminan dari kasih saying anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang
tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap
sebagai menelantarkannya.
Lain halnya dengan
konsep yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia
lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap
orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada
badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua
menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah
menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang
sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih
sayang.
Adapun dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan kepada
orang tua diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai
pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Selanjutnya
Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
Dan rendahkan dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu
kecil” (QS. 17:24).
3. Selain
itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang
tua, dalam pernyataan Aisyah r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada
seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itu
menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan berjalan di depannya dan
jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat
sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha Abdullah Al-Afifi:
1987:51)
4. Perlakuan
kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut
Ibnu Abbas, Rasulullah pernah mengatakan:
“Barang siapa membuat ridha
kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu
syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu diantaranya maka akan
terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah
kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika
membuat marah salah-satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka”.
(Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987:53).
Bahkan ketika mendengar
seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati mengadukan bahwa
ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “engkau dan hartamu
adalah milik ayahmu”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55).
Dari penjelasan di atas
tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam. Manusia
usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan
perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang
demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi
tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh
kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian.
Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan
bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban
agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo merupakan tindakan
tercela yang dilakukan oleh seorang anak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
makalah yang dijabarkan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa usia
lanjut adalah usia dimana seseorang akan mengalami kemunduran fisik dan mental
yang terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence”
yaitu masa proses menjadi tua. Adapun secara umum mengatakan bahwa usia lanjut
ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan usia lanjut ini
akan terjadi penurunan kemampuan fisik yang menyebabkan aktivitas menurun,
sering mengalami gangguan kesehatan hingga mereka akan cenderung
kehilangan semangat.
Adapun ciri-ciri keagamaan
pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah
mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat
secara lebih sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada
kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur, Timbul
rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia
lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi
(akhirat).
Kematangan atau kedewasaan
seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan
yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia
memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang
menyebabkan adanya hambatan dalam menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni
factor intern (dalam diri), dan ekstern (dari lingkungan).
Di dalam Islam Perlakuan
terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan
mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada
keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo.
Sehingga merawat orang tua dalam usia lanjut merupakan kewajiban
bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara yang diajarkan
di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.
Daftar Pustaka
Heni, Narendrany Hidayati.
2007. Psikologi Agama. Jakarta : UIN Jakarta Press
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa
Agama. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada
Hafi Anshari. 1991.
Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya ,
Jalaluddin. 2010. PsikologI
Agama. Jakarta :
Rajawali Pers.
Images.polres.multiplycontent.com/…/makalah%20b%yusuf%20y%20k
0 Response to "Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Masa Usia Lanjut"
Posting Komentar